Wednesday, November 5, 2008

MENGHAYATI ARTI PENTING HARI PAHLAWAN

MENGHAYATI ARTI PENTING
HARI PAHLAWAN

(Oleh : A. Umar Said)

Tidak lama lagi, bangsa kita akan merayakan Hari Pahlawan 10 November. Sekarang ini, ketika bangsa kita sedang menghadapi angka pengangguran paling sedikitnya 38 juta (Tempo Interaktif 1 Nov), dan utang luarnegeri dan dalamnegeri begitu besar, apakah masih perlu kita repot-repot mengadakan peringatan Hari Pahlawan 10 November? Dan, juga, ketika hiruk-pikuk tentang terorisme sedang melanda seluruh negeri, apa pula gunanya memperingati Hari Pahlawan? Bukankah lebih baik kalau perhatian kita dicurahkan kepada pemberantasan korupsi, yang sudah jelas-jelas mendatangkan kerusakan parah di bidang moral, dan menyebabkan kerugian begitu besar kepada negara dan rakyat? Apakah peringatan Hari Pahlawan masih ada artinya, ketika persatuan dan kesatuan bangsa kita sedang dikoyak-koyak oleh berbagai sentimen negatif kesukuan dan dikotori pertentangan agama? Kiranya, masih banyak lagi pertanyaan lainnya yang bisa diajukan tentang pentingnya memperingati Hari Pahlawan ini.

Kepada mereka yang masih mempertanyakan arti penting peringatan Hari Pahlawan, kiranya perlu – dengan sabar, namun tegas - dijawab : Sangat perlu, karena amat penting!!! (tanda seru tiga kali). Justru karena situasi negara dan bangsa sudah begini bobrok dewasa ini, maka kita semua perlu mengangkat tinggi-tinggi jiwa agung dan revolusioner yang terkandung dalam Hari Pahlawan. Namun, supaya lebih jelas lagi, perlu pula ditegaskan bahwa Hari Pahlawan ini harus kita rayakan dengan cara-cara dan semangat yang baru, yang berbeda dengan yang selama ini dilakukan oleh Orde Baru (beserta para pendukungnya).


ORDE BARU MEMBUNUH API HARI PAHLAWAN

Dalam kaitan ini, mohon marilah sama-sama kita renungkan dalam-dalam yang berikut ini : apakah kultur politik dan kultur moral (dan pendidikan) Orde Baru betul-betul menghayati sungguh-sungguh dan menghormati Hari Pahlawan? Mengingat pengalaman selama puluhan tahun Orde Baru, kita patut meragukannya! Memang, Hari Pahlawan telah selalu dirayakan selama itu. Namun, tanpa apinya. Tanpa jiwa keagungannya. Selama puluhan tahun Orde Baru, Hari Pahlawan kebanyakan hanya diperingati dengan upacara-upacara yang bersifat ritual, yang kerdil jiwanya dan miskin pula isinya..

Tidak bisa lain! Sebab, pada hakekatnya, atau pada intinya, Hari Pahlawan adalah berjiwa revolusioner. Hari Pahlawan mengandung patriotisme dan nasionalisme yang tinggi. Hari Pahlawan adalah sarat dan dengan bobot semangat pengabdian kepada kepentingan rakyat. Hari Pahlawan mencerminkan kerelaan berkorban demi kepentingan nusa dan bangsa. Hati Pahlawan mengandung moral yang agung. Hari Pahlawan juga menyampaikan pesan besar yang terkandung dalam Sumpah Pemuda, Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila; Justru itu semualah yang tidak dimengerti oleh para pendiri (dan pendukung setia) Orde Baru. Bahkan, yang telah dirusak atau dikhianatinya!!! (sekali lagi, tanda seru tiga kali)

Supaya tidak jatuh dalam rumusan yang terdengar muluk-muluk dan generalisasi dangkal, maka perlulah kiranya kita semua berusaha menyimak kembali sejarah lahirnya Hari Pahlawan. Sejarah lahirnya Hari Pahlawan tidak bisa dipisahkan dari peran sejarah Bung Karno, dari kehebatan perjuangan revolusioner rakyat Indonesia di seluruh negeri dalam tahun 45, dan juga tidak bisa dipisahkan dari sejarah pertempuran Surabaya. Yang perlu dicatat juga adalah bahwa Hari Pahlawan ada kaitannya dengan usul Sumarsono kepada Bung Karno dalam tahun 1945 untuk menjadikan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Sumarsono adalah; waktu itu, pimpinan tertinggi gerakan PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang mempunyai peran penting (dan terutama) semasa pembrontakan rakyat Surabaya untuk merampas senajata Jepang dan kemudian bertempur secara besar-besaran dan heroik melawan pasukan-pasukan Inggris (dan Belanda).


HARI PAHLAWAN ADALAH BERJIWA REVOLUSIONER

Adalah penting dalam menghayati arti Hari Pahlawan, kita semua mencermati bahwa Bung Karno adalah satu di antara sejumlah tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia yang paling menonjol (dan paling banyak!) dalam mengangkat arti para pahlawan dalam perjuangan pembebasan bangsa. Ini tercermin dalam banyak halaman buku beliau “Di bawah Bendera Revolusi”, dan juga dalam pidato-pidato beliau. Bung Karno menjadikan Hari Pahlawan sebagai sarana untuk mengingatkan . kepada seluruh bangsa (terutama angkatan muda) bahwa sudah banyak pejuang-pejuang telah gugur, atau mengorbankan harta-benda dan tenaga mereka, untuk mendirikan negara RI. Mereka rela berkorban, supaya kehidupan rakyat banyak bisa menjadi lebih baik dari pada yang sudah-sudah. Mereka berjuang dalam tahun-tahun 20-an, dan selama revolusi kemerdekaan 45, untuk menjadikan negara ini milik bersama, guna menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Jadi, menghayati secara benar-benar Hari Pahlawan adalah berarti menghubungkannya dengan revolusi bangsa. Dan seperti yang sudah ditunjukkan oleh sejarah kita, revolusi bangsa Indonesia adalah pluralisme revolusioner. Dalam perjalanan jauh (long march) yang berliku-liku ini berbagai tokoh golongan masyarakat ( dari berbagai suku, keturunan, agama dan aliran politik) telah menyatukan diri dalam barisan panjang revolusioner kita.

Dengan latar-belakang pandangan sejarah yang demikian itu pulalah kiranya kita bisa mengerti mengapa Bung Karno menerima usul Sumarsono untuk menjadikan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan. Sedangkan Sumarsono sendiri, yang menjadi pimpinan tertinggi PRI di Surabaya waktu itu, adalah seorang pemuda yang masa kecilnya mendapat pendidikan Kristen, dan setelah besar mempunyai hubungan erat dengan gerakan di bawah tanah PKI. melawan kolonialsime Belanda dan fasisme Jepang (lewat jaring-jaringan Mr; Amir Syarifuddin, pelukis Sudjoyono, tokoh PKI Widarta dan lain-lain)..

Dari ketinggian pandangan revolusioner yang demikian itulah kita sepatutnya memandang arti penting Hari Pahlawan. Jadi, tidak cukup hanya dengan pengibaran bendera dan nyanyi--nyanyian atau pidato-pidato yang isinya kosong atau steril saja Upacara-upacara memang tetap perlu dikerjakan, namun yang lebih penting adalah memberi isi dan jiwa kepada hari keramat ini.


PARA PAHLAWAN MENANGIS DALAM MAKAM

Dewasa ini, memperingati Hari Pahlawan dengan semangat baru, cara baru, pandangan baru, adalah penting. Sebab, kita sama-sama menyaksikan bahwa selama Orde Baru, keagungan jiwa revolusioner Hari Pahlawan yang dicetuskan oleh Bung Karno telah dibikin mandul atau kerdil. Pastilah para pahlawan kita dari berbagai angkatan, berbagai suku, berbagai agama dan aliran politik, menangis sedih dalam makam mereka, melihat keadaan bangsa dan negara kita yang seperti sekarang ini. Bukanlah bangsa dan negara yang macam sekarang ini yang mereka cita-citakan ketika mereka bersedia mengorbankan diri dalam berbagai medan perjuangan, termasuk dalam pertempuran-pertempuran di seluruh tanahair.

Sebagai produk kultur politik dan kultur moral Orde Baru kerusakan dan pembusukan melanda di seluruh lini, baik di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif, termasuk di kalangan agama. Banyak tokoh-tokoh politik, pemuka masyarakat dan pejabat yang benar-benar sudah menjadi penjahat dan pengkhianat rakyat. Banyak di antara mereka sudah tidak peduli lagi terhadap kepentingan publik. Mereka menghalalkan segala cara untuk mencuri milik negara dan rakyat. Mereka tidak segan-segan menggunakan dalil-dalil dan kedok agama untuk menimbulkan perpecahan, dan menyebar benih-benih kerusuhan.


TUGAS ANGKATAN MUDA

Mengingat situasi yang begini buruk dewasa ini (ingat : dampak peristiwa bom di Bali, hubungan internasional yang memburuk, investasi yang menurun, utang yang makin menggunung, pengangguran yang makin membengkak, pelecehan terus-menerus terhadap hukum dan HAM, korupsi yang tetap merajalela) , adalah kewajiban moral angkatan muda dari berbagai golongan, keturunan, suku, agama, dan aliran politik untuk menjadikan jiwa Hari Pahlawan.sebagai senjata guna berjuang melawan pembusukan besar-besaran ini. Sebab, kelihatannya, kita sudah tidak bisa menaruh harapan lagi kepada berbagai angkatan yang telah ikut mendirikan Orde Baru, dan juga yang merupakan produk (didikan) kultur buruk ini.

Jiwa yang sudah pernah dimanifestasikan oleh angkatan muda secara gemilang dalam tahun 1998 dalam menumbangkan kekuasaan Suharto, perlu dipupuk dan dikobarkan terus, dalam bentuk-bentuk baru, sesuai dengan perkembangan situasi. Dalam perlawanan terhadap Orde Baru telah jatuh korban-korban. Mereka adalah bagian dari sederetan panjang pahlawan, yang kebanyakan tidak dikenal. Karena telah mengorbankan diri untuk melawan sistem politik dan kediktatoran yang telah membikin banyak kerusakan parah terhadap bangsa dan negara selama puluhan tahun, maka sudah sepatutnyalah bahwa mereka kita pandang sebagai pahlawan pendobrak Orde Baru.

Hari Pahlawan harus sama-sama kita kembalikan kepada peran (dan pesannya) yang semestinya. Ini adalah tugas utama bangsa kita, termasuk dari kalangan pendidikan dan sejarawan. Angkatan muda harus dididik untuk menghayati benar-benar semangat pengabdian kepada rakyat dan pengorbanan diri demi kepentingan nusa dan bangsa. Kalangan sejarawan (dan pendidikan) perlu sekali meninjau kembali buku-buku sejarah dalam sekolah-sekolah, sehingga generasi muda kita mengenal sejarah bangsa secara benar (ingat : pemalsuan yang memblingerkan : serangan 1 Maret dan pendudukan 6 jam di Jogya oleh Suharto dan pemalsuan-pemalsuan sejarah lainnya).

Bangsa yang besar menghargai para pahlawannya. Bangsa Indonesia pernah dipandang besar oleh bangsa lain di dunia, terutama oleh rakyat-rakyat di Asia, Afrika dan Amerika Latin, berkat perjuangannya melawan kolonialisme dan imperialisme ( mohon dicatat antara lain : revolusi 45, Konferensi Bandung, Konferensi Pengarang Asia-Afrika, Konferensi Wartawan Asia-Afrika, Ganefo, Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Aaing).

Sekarang ini, negeri kita Indonesia sedang terpuruk citranya di dunia. Sekali lagi, bukan negeri yang macam beginilah yang dicita-citakan oleh ratusan ribu (bahkan mungkin jutaan) pahlawan kita, yang dalam barisan panjang dan berliku-liku telah berbondong-bondong bersedia mengorbankan diri, demi kita semua dan demi anak-cucu kita.



Sumber : http://kontak.club.fr/

Read More...

Hari Pahlawan

Tanggal 10 Nopember diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari di mana para pejuang Indonesia mempertahankan kedaulatan negara yang dicoba dirampas kembali kemerdekaannya oleh Belanda yang membonceng sekutu di kota Surabaya. Dalam pertempuran yang menewaskan banyak pejuang itu, Bung Karno pernah menyebutnya sebagai sebuah peristiwa heroik dengan semangat macan.

Memang mempertahankan kemerdekaan amat berat. Kita tahu bahwa hal itu adalah sebuah perjuangan yang dihiasi oleh darah dan air mata. Amat terasalah perjuangan itu ketika pertama-tama berada dalam situasi kemerdekaan. Memang benar tidak semudah merebutnya.
Kini situasi sudah jauh berubah. Tak ada lagi penjajahan sebab seluruh bangsa-bangsa di dunia ini sudah menjadi negara berdaulat dan kemerdekaaan sudah menjadi sebuah hal universal bagi seluruh negara di manapun itu.
Masalah yang kita hadapi adalah bagaimana mengisi dan mempertahankan kemerdekaaan. Semangat 10 Nopember adalah kekuatan untuk hal itu. Kita tahu bahwa persoalan yang kita hadapi sekarang ini adalah persoalan yang berat. Penjajah memang tak lagi datang, tetapi bahwa model lain dari penjajahan itu sudah menjadi persoalan kita sejak lama.
Dari dalam diri kita sendiri, penjajah datang dalam bentuk kebuntuan cara berpikir. Persoalan besar kita adalah persoalan kemiskinan, kebodohan, kemelaratan politik serta apatisme. Orientasi ke masa depan hampir tidak ada. Kalau kita berjalan sampai ke pelosok dan pedalaman negeri ini, yang ada hanyalah ketidakmampuan mengerti dan merancang mengenai masa depan.
Hal ini berkaitan dengan cara berpikir. Kita terbiasa tidak mau berjuang sebab kita mewarisi sebuah negeri yang sudah merdeka. Kita terbiasa hidup dalam kenyamanan kemapanan yang ada. Sebab kita adalah negeri yang amat terbiasa hidup dalam kenyamanan kehidupan yang semu. Sejak kita merdeka, memang negara ini tidak pernah membangkitkan semangat. Kita selalu dihantui oleh ketakutan jika berpartisipasi akan menghadapi masalah dari negeri ini.
Maka yang terjadi kini adalah sebuah negara tanpa arah dan tanpa semangat. Perhatikanlah setiap anak-anak yang bersekolah. Mereka memang pergi dan pulang, tetapi tidak tahu mengenai apa artinya masa depan. Perhatikan mereka yang bekerja, tanyakan apa yang sedang dikerjakan, pastilah akan menjawab untuk kepentingan dan investasi keluarganya sendiri. Tanyakan pada para birokrat, apa yang sedang mereka lakukan, mereka pasti menjawab bagaimana supaya mereka bisa tetap memperoleh gaji tanpa harus repot-repot.
Setiap orang di negeri ini memang amat sulit memperoleh napas baru bernama semangat tadi. Bandingkan dengan mereka yang tanpa tedeng aling-aling berjuang, angkat senjata dan menyerahkan nyawanya 10 Nopember 1948 silam. Mereka bersedia menyerahkan apa saja, demi satu tujuan yang membakar semangat mereka, yaitu mempertahankan kemerdekaan negerinya.
Sudah saatnyalah elit politik dan pemimpin negeri ini berhenti berbicara mengenai diri dan mereka saja. Sudah saatnya yang dibicarakan adalah bagaimana menyelamatkan negeri ini supaya bisa bertahan. Harus jujur kita akui bahwa fondasi semangat negeri ini sudah sangat rapuh. Yang ada adalah disharmoni, perebutan dan intrik politik serta korupsi. Bangsa ini harus dibangkitkan kembali semangatnya untuk bangkit dan mempertahankan ancaman yang datangnya dari dalam diri kita sendiri.



Sumber : http://opini.wordpress.com/

Read More...

Monday, November 3, 2008

Warisan pemerintahan Suharto

Warisan pemerintahan Suharto

01132_suharto_montage.jpg

Mantan Presiden Suharto, yang tutup usia pada hari Minggu (27/01) di Jakarta pada usia 86 tahun, memerintah Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa.

Pemerintah Suharto yang dia sebut Orde Baru menjadi pembangunan dan kemajuan ekonomi sebagai prioritas utamanya. Ini dilakukan dengan menerapkan gaya pemerintahan otoriter lewat kebijakan perampingan partai politik dan penerapan azas tunggal.

Dalam pelaksanaannya, tindakan intimidasi, pemaksaan dan kekerasan dialami oleh orang-orang yang menentang Soeharto ketika itu. Masa pemerintahan Orde Baru juga dikecam atas kasus pelanggaran hak azazi manusia, pembelengguan pers dan hak mengeluarkan pendapat, dan demokrasi ditekan.

Namun, di sisi lain perekonomian Indonesia semasa Suharto menikmati tingkat pertumbuhan yang menakjubkan sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada pangan.

Liberalisasi perdagangan dan investasi terbuka lebar. Perhatian besar juga diberikan pemerintah Suharto pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat terbawah.

BBC Siaran Indonesia meninjau beberapa kebijakan penting yang menandai pemerintahan Suharto.Kebijakan Suharto atas kelompok Islam
Pemerintah Suharto mengendalikan kehidupan politik secara ketat.
Lambang dan jargon Islam semakin kerap muncul dalam berbagai perhelatan publik saat Suharto terlihat semakin akrab dengan sebagian kelompok Islam sejak awal tahun 1990-an.
Mereka yang diakrabi pak Harto itu termasuk para tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, ICMI.
Dan, kedekatan itu mencapai titik puncak saat Pak Harto memilih BJ Habibie untuk mengisi kursi wakil presiden, kata pakar sejarah Anhar Gonggong dari Universitas Indonesia.
Menurut Anhar, kedekatan Suharto dengan ICMI terkait dengan keinginannya untuk menciptakan lingkungan intelektual Islam yang bisa mendukung dia.
Menjelang tahun 1990-an, ada sekelompok cendekiawan di Malang merintis pendirian ICMI. “Kemudian, ditampilkan Habibie sebagai seorang tokoh yang seakan-akan mewakili cendekiawan Islam,” kata Anhar.
“Dan, itu juga strategi Suharto untuk melakukan pendekatan kepada kekuatan Islam yang digambarkan seakan-akan kekuatan yang digambarkan sebagai kekuatan Islam…seakan-akan Islam mendukung dia,” katanya

Ancaman

Tapi, seperti apa sebenarnya kebijakan politik Suharto terhadap Islam, selama memimpin Orde Baru?
Suharto ingin Habibie dan ICMI dilihat sebagai dukungan Islam.
Menurut sejarawan, Anhar Gonggong sejak awal berkuasa Pak Harto cenderung melihat kalangan Islam sebagai ancaman bagi kekuasaan.
Setelah menjadi presiden, Suharto melancarkan sejumlah perubahan terkait dengan rencana pembangunannya dan menciptakan kestabilan. “Terlihat di situ Suharto menciptakan kekuatannya sendiri, yaitu golkar dan tentara,” kata Anhar.
Berikutnya Suharto menggelar pemilu pertama di masa Orde Baru, tahun 1971 dengan hasil Golkar (saat itu masih Sekber Golkar) keluar sebagai pemenang. “Tetapi kekuatan Islam juga tetap kelihatan cukup besar, maka Suharto harus berusaha bagaimana caranya untuk mengeliminasi kekuatan Islam sebagai kekuatan politik, ” jelas Anhar.
Pendapat Anhar Gonggong ini bertolak belakang dengan pandangan tokoh Eksponen 66, Cosmas Batubara.

‘Keperluan politik’
Cosmas Batubara, yang pernah menjabat menteri dalam kabinet Pak Harto, mengatakan, kebijakan Pak Harto menyatukan partai-partai Islam ke dalam satu partai adalah untuk memenuhi keperluan politik pada saat itu.
Kita sudah menjadi korban pertarungan ideologi zaman Nasakom, zaman Sukarno, itu mau ditinggalkan, karena sudah bersepakat ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
“Kita sudah menjadi korban pertarungan ideologi zaman Nasakom, zaman Sukarno, itu mau ditinggalkan, karena sudah bersepakat ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945,” kata Cosmas memberikan alasan kebijakan fusi tersebut.
Menurut Cosmas Batubara, sebenarnya dilihat dari aliran politik yang ada saat itu, “penyederhanaan itu menjawab kepentingan pembangunan pada saat itu”.
Namun, pengamat politik Islam Syafii Anwar dari International Centre for Islam and Pluralism melihat kebijakan terhadap kelompok-kelompok Islam adalah bagian dari upaya Suharto memperkuat hegemoni kekuasannya.
Menurut Anwar, kebijakan Suharto terhadap kelompok-kelompok Islam mengikuti beberapa pembabakan. “Tahap pertama itu tahap yang sangat hegemonik sekali,” katanya.
Anwar menggambarkan periode 1968-1979, Pak Harto menerapkan “kebijakan terhadap umat Islam yang sangat represif sekali”, termasuk Undang-Undang Perkawinan dan fusi partai-partai Islam. “Pokoknya, tekanannya itu adalah pada pemerkuatan rezim Orde Baru,” kata Anwar.

Dampak kebijakan
Apapun alasannya, kebijakan represif Suharto mendatangkan dampak besar berkepanjangan bagi banyak aktivis dua organisasi Islam terkemuka Indonesia, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
“Itu bahkan NU sendiri, kalau bisa Pak Harto ingin bukan NU yang memimpin…
Menurut tokoh veteran NU, KH Mustofa Bisri, organisasinya sering menjadi bulan-bulanan rezim Suharto.
Mustofa Bisri menilai Pak Harto dan rezim Orba “fobi terhadap NU itu sangat luar biasa”.”Itu bahkan NU sendiri, kalau bisa Pak Harto ingin bukan NU yang memimpin,” ujarnya.
Menurut Mustofa Bisri, intervensi Orba terhadap pemilihan pimpinan NU itu dimaksudkan “supaya (NU) tidak ada yang kuat atau memimpin”.
Namun, bagi orang luar, tetap ada pertanyaan mengenai kebijakan pemerintahan Suharto terhadap NU yang sering dilihat sebagai organisasi “moderat”.
Menurut Mustofa, kebijakan itu terkait dengan ketidakinginan Golkar, yang bersama tentara menjadi kekuatan utama yang tersisa pasca Sukarno, untuk melihat NU menjadi saingan.
Tidak hanya NU yang merasakan tekanan rezim Pak Harto seperti yang dituturkan KH Mustofa Bisri.
Mantan ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif harus menempuh berbagai jurus untuk bisa bertahan dari tangan kekuasaan pemerintahan Suharto, termasuk soal campur tangan dalam pemilihan pimpinan Muhammadiyah. …Karena umatnya sudah hampir bulat mendukung Amien Rais, akhirnya Pak Harto tidak bisa berbuat apa-apa
Syafii Maarif mencontohkan, waktu Muktamar Aceh 1995, sebenarnya Amin Raies dihalangi untuk dipilih untuk memimpin Muhammadiyah. “Tetapi, karena umatnya sudah hampir bulat mendukung Amien Rais, akhirnya Pak Harto tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Syafii.

“Padahal, Anda tahu sudah sejak tahun 1993 Amien Rais, yang waktu itu belum menjadi ketua..sudah meluncurkan gerakan untuk perlunya pergantian kepemimpinan nasional,” kata mantan ketua PP Muhammadiyah 1999-2004.
Terhadap Muhammadiyah sebagai organisasi sosial, Syafii mengatakan, “asal kita tidak memasuki politik, itu ya tenang-tenang saja”.

‘Banting stir’
Mengenai sikap Pak Harto yang sejak awal 1990-an berubah menjadi dekat dengan sebagian kalangan Islam, Syafii menilai “banting stir itu tidak tulus.”
Tokoh Muhammadiyah ini mencontohkan didirikannya ICMI dan berbagai bank muammalat. “Sesungguhnya hanyalah dalam rangka mengukuhkan kekuasaannya penting, karena pihak tentara sudah mulai tidak senang lagi dengan dia, paling tidaknya beberapa oknum penting… dia mencari dukungan umat Islam,” tandas Syafii.
Banting stir, seperti yang dikatakan Syafii Maarif dari Muhammadiyah, ditempuh sebagai pilihan terakhir Pak Harto.
Sebelum itu, saat masih sangat berkuasa, pimpinan Orde Baru itu telah menempuh berbagai strategi politik terhadap Islam di Indonesia, mulai dari represif, akomodatif, hingga politik kooptasi, kata pengamat politik Islam, Syafii Anwar.
Antara 1980-1984, demikian jelas Syafii Anwar, Pak Harto mulai merasa umat Islam akan melawan jika ditekan.
Untuk itu, Pak Harto mengubah kebijakan dengan memberikan sumbangan kepada masjid-masjid dan mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila setelah memberlakukan ketentuan Asas Tunggal Pancasila. “Setelah merasa saya sudah memberikan bantuan kepada madrasah, kepada pesantren, ideologi kamu harus satu dong (Asas Tunggal Pancasila),” tutur Syafii.
Menurut Anwar, banyak warga masyarakat sebenarnya menolak kebijakan Pak Harto itu. “…Mereka melakukan dakwah yang kultural sebagai perlawanan terhadap hegemoni politik Suharto,” ujarnya.
Berikutnya, Pak Suharto melihat umat Islam bisa dijadikan “teman” yang bisa diajak bekerjasama, tambah Syafii.

‘Ahli Strategi’
Menurut Syafii Anwar, inilah yang melatarbelakangi hubungan dekat Pak Harto dengan pemuka ICMI. Di situ dia kalah kalkulasi, karena dia fikir orang Islam bisa dikooptasi terus, tanpa bersikap kritis “Dukungan Pak Harto terhadap ICMI itu luar biasa sekali. Politik yang mula-mula menjauhkan Islam dari negara, menjadi melekat dengan negara,” katanya.
Namun, dia juga mencatat kebijakan akomodatif Pak Harto terhadap sebagian kelompok Islam itu belakangan berubah menjadi “politik kooptasi”.
Menurut Syafii Anwar, perubahan kebijakan tersebut terhadap kalangan muslim merupakan bukti Pak Harto “ahli strategi yang hebat”. “Walaupun pada saat-saat terakhir, kalau mau orang mau fair (adil), kegagalan Pak Harto Itu karena krisis ekonomi,” katanya.

“Di situ dia kalah kalkulasi, karena dia fikir orang Islam bisa dikooptasi terus, tanpa bersikap kritis,” tambah pengamat politik Syafii Anwar.
Lepas dari berbagai jurus politik yang diperagakan, seperti dicatat Syafii Anwar, Pak Harto akhirnya lengser tahun 1998.
Jadi, bagaimana umat Islam akan mengenang pemerintahan Pak Harto? Jawabnya bergantung pada siap yang ditanya, kata KH Mustofa Bisri dari Nahdlatul Ulama.
Kalau ada pemerintahan atau penguasa tidak memihak, tidak mengayomi kepada rakyatnya, itu tidak Islami sama sekali….apalagi membelenggu rakyat,” katanya
“Jangan dilihat hanya dari segi dagingnya (luarnya saja),” kata Mustofa Bisri
“Kalau persoalan bahwa ada banyak masjid dibangun, lalu itu baik dengan Islam. ….Itu mungkin orang Islam lain berpendapat begitu, kalau saya tidak,” kata Mustofa yang juga dikenal sebagai sastrawan.
“Kalau ada pemerintahan atau penguasa tidak memihak, tidak mengayomi kepada rakyatnya, itu tidak Islami sama sekali….apalagi membelenggu rakyat,” katanya.

Ekonomi di bawah Orde Baru
Kebjiakan ekonomi pada awal pemerintahan Suharto berhasil menekan inflasi yang sangat tinggi. Suharto mengakhiri jabatannya sebagai presiden akibat fondasi ekonomi Indonesia ambruk diterjang krisis dan gelombang politik yang menghendaki perubahan.
Kenyataan ini bertolak belakang dengan situasi pada awal kepemimpinan jenderal purnawirawan ini pada tahun 1968.
Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. “Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Suharto.
Orang yang dulu dikenal sebagai salah seorang penasehat ekonomi presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Suharto, yang bisa dikatakan berhasil, adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu hanya dua tahun.
Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Suharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Sukarno, pendahulunya.
Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.

‘Terikat modal asing’
Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas.
Presiden Suharto menandatangi kesepakatan IMF beberapa bulan sebelum mundur di tahun 1998
Suharto menamai programnya ‘Pembangunan Lima Tahun’ atau PELITA, yang dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.

Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.
“Liberalisasi sebesar mungkin, sebebas-bebasnya, kalau ada intervensi boleh dikatakan didikte oleh IMF dan Bank Dunia, yang dibelakangnya adalah pemerintah Amerika Serikat dan dampaknya dirasakan sampai sekarang,” kata mantan menteri koordinator perekonomian Indonesia antar tahun 1999-2000.
Namun menurut Emil Salim, untuk menggerakkan pembangunan, Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980.

Kemajuan sektor migas
Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. “Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi,” kata pengamat ekonomi Djisman Simandjuntak.
Liberalisasi sebesar mungkin, sebebas-bebasnya, kalau ada intervensi boleh dikatakan didikte oleh IMF dan Bank Dunia, yang dibelakangnya adalah pemerintah Amerika Serikat dan dampaknya dirasakan sampai sekarang
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan pembenahan di bidang politik.
Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
Lebih lanjut, Emil Salim menilai, pendekatan seperti yang dilakukan Suharto pada awal pemerintahannya lazim dipraktekkan oleh para pemimpin di kawasan Asia Timur dan Tenggara.
“Ada pandangan bahwa demokrasi yang dikembangkan di negara berkembang itu membutuhkan semacam pengarahan atau intervensi untuk tidak segera bersifat liberal,” kata Emil Salim.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru oleh Kwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960
Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.

Titik balik
Masa keemasan ekonomi Orde Baru, kata Emil salim, mengalami titik balik ketika memasuki tahun 1990-an, saat BJ Habibie dengan visi teknololgi masuk merambah bidang ekonomi.
Suharto melepaskan jabatan setelah unjuk rasa besar-besaran tahun 1998

Tetapi, Kwik Kian Gie tidak sependapat dan dia menilai Habibie bukan faktor penting dalam titik balik ekonomi Orde Baru.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru terkesan begitu memukau,” kata Kwik, namun menurutnya di sisi lain kesenjangan dan kemiskinan adalah akibat kebijakan ekonomi liberal.
Krisis moneter sejak Juli 1997, yang disusul dengan tuntutan reformasi total, dia anggap sebagai konsekuensi logis dari kebijakan tersebut yang diperburuk oleh situasi politik.
Namun, pengamat ekonomi Djisman Simandjuntak mempunyai analisa berbeda tengan jatuhnya Suharto. “Krisis ekonomi untuk sebagian orang memang bisa ditelusuri ke praktek kebijakan, bukan desain kebijakan di atas kertasnya,” kata Djisman.
Pengamat ekonomi ini menilai pada prakteknya kebijakan pemerintahan Suharto sarat dengan berbagai penyelewengan seperti kolusi, korupsi dan nepotisme pada kroni Suharto.
Pada saat yang bersamaan, rakyat menuntut suksesi politik. Dan krisis ekonomi yang melanda Indonesia menjadi pemicu krisis politik yang sudah dipendam oleh rakyat, tambah Djisman Simandjuntak.

Antara persatuan dan penyeragaman
Orde Baru menggelar bermacam festival seni berskala nasional

Di zaman Orde Baru Suharto, ada Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau LKMD semacam perwakilan warga di tingkat desa yang diperkenalkan pada tahun 1979 di seluruh Indonesia.
Penyeragaman dan standarisasi lembaga desa itu, menurut laporan Bank Dunia tahun 2004, telah melemahkan lembaga tradisional masyarakat yang sudah ada di masing-masing desa.
“Itulah salah satu contoh yang mengangkat pertanyakan apakah memang terjadi upaya penyeragaman budaya di bawah kepempinan Suharto? “ kata Sitok Srengenge adalah seorang budayawan yang tinggal di Jakarta.
“Jawabannya mudah: Ada!” kata Sitok.
Menurut Sitok, hal itu bisa wajar jika dilihat dari sudut koridor kebudayaan. “Di mana pun, bangsa mana pun, apabila terdapat suku bangsa atau etnik yang dominan, dia selalu membawa nilainya dan mempengaruhi etnik-etnik yang lain,” katanya.
Di mana pun, bangsa mana pun, apabila terdapat suku bangsa atau etnik yang dominan, dia selalu membawa nilainya dan mempengaruhi etnik-etnik yang lain
“Tetapi, bila ini mulai sudah dipolitisir dan dipaksakan kepada etnik-etnik yang lain dalam wilayah yang sama, maka saya kira itu mendatangkan banyak kerugian secara kultural ” tambahnya.
Sitok Srengenge, yang kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, juga berpendapat penyeragaman budaya juga terjadi lewat pelajaran sejarah.
“Bukan hanya sejarah raja-raja Jawa yang diajarkan di berbagai suku bangsa lainnya, tapi juga sudah terjadi manipulasi penafsiran atas sejarah itu,” kata Sitok Srengenge, dengan mencontohkan “pengukuhan Patih Gadjah Mada sebagai simbol persatuan bangsa Indonesia”.

Membatasi ekspresi
Saat itu hanya ada kerajaan-kerajan kecil dan belum ada persatuan nusantara. “Maka apa yang dilakukan Gadjah Mada adalah invasi terhadap kerajaan-kerajaan yang lebih kecil,” ujarnya.
Sitok Srengenge juga menyinggung penayangan film G30S/PKI setiap tahun. “Itu penyeragaman kognisi terhadap seluruh siswa di seluruh Indonesia tentant tafsir tentang penyeragaman apa yang terjadi pada 1965 itu,” katanya.
Sitok tidak sepenuhnya sepandapat bahwa penyeragaman itu sebagai wujud obsesi Suharto untuk mempersatukan Indonesia secara lebih utuh. “Kenapa integrasi tidak diwujudkan dalam pemerataan kesejahteraan? Kenapa tidak dengan menghargai keluhuran budaya setiap daerah?” tanyanya.
Sementara itu, di Medan, Sumatera Utara, Ben Pasaribu, pengajar Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Medan, berpendapat kebijakan untuk standarisasi budaya telah membatasi ekspresi seni lokal.
Ben mengangkat contoh berbagai festival teater, musik dan tarian nasional yang digelar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan itu mengarah ke penyeragaman, mulai durasi, tata cara pentas hingga sumber cerita.
“Semua harus menjadi sama,” kata Ben.
“Itu membuat tidak ada kebebasan dari masing-masing daerah untuk mengekspresikan gaya atau style masing-masing, ” kata Ben Pasaribu dari Universitas Medan.
Meski demikian, Ben juga melihat kebijakan positif yang ditinggalkan Orba seperti muatan lokal dalam kurikulum. Sayangnya, bahan bacaan itu harus menunggu buku dari Jakarta, katanya.

Cukup bagus
Namun, Prof. Dr. Ellyano S. Lasam, Ketua Majelis Adat Kalimantan Timur di Balikpapan menegaskan, Suharto berhasil dalam mewujudkan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
“Pada prinsipnya, seluruh bangsa Indonesia diharapkan bersatu,” katanya.
“Oleh karena itu, satu budaya dengan budaya yang lain, walaupun itu adalah berbeda-beda, yang beliau kehendaki itu semacam kesatuan dan persatuan, bukan penyeragaman,” kata Profesor Ellyano.
Menurut Ellyano, budaya Dayak “cukup terakomodir” selama kepemimpinan Pak Harto, meski warga Dayak di daerah pedalaman belum tersentuh.
“Keinginan beliau untuk memajukan seluruh budaya itu menjadi satu kesatuan itu mengarah ke sana,” katanya.
“Kita suka tidak atau tidak suka dengan kepemimpinan beliau selama 32 tahun itu, saya kira itu sudah cukup bagus untuk mengembangkan bangsa Indonesia supa berbudaya yang baik itu, ” Profesor Ellyano S Lasam.
“Artinya saling menghargai budaya orang lain, saling mengakui kebudayaan orang lain… tidak saling menjegal satu suku dengan suku lain,” tandasnya.


Sumber : http://kabinetindonesia.wordpress.com/
Read More...

Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 Kongres Pemuda II

Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 Kongres Pemuda II - Satu Tanah Air, Bangsa dan Bahasa

Peristiwa sejarah Soempah Pemoeda atau Sumpah Pemuda merupakan suatu pengakuan dari Pemuda-Pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 hasil rumusan dari Kerapatan Pemoeda-Pemoedi atau Kongres Pemuda II Indonesia yang hingga kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.

Kongres Pemuda II dilaksanakan tiga sesi di tiga tempat berbeda oleh organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie.

Isi Dari Sumpah Pemuda Hasil Kongres Pemuda Kedua :

PERTAMA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia).

KEDOEA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).

KETIGA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).

Dalam peristiwa sumpah pemuda yang bersejarah tersebut diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Soepratman. Lagu Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar Sin Po dengan mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial hindia belanda, namun para pemuda tetap terus menyanyikannya.

Apabila kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai banyak hal tentang Sumpah Pemuda kita bisa menunjungi Museum Sumpah Pemuda yang berada di Gedung Sekretariat PPI Jl. Kramat Raya 106 Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi utama seperti biola asli milik Wage Rudolf Supratman yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta foto-foto bersejarah peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah pergerakan pemuda-pemudi Indonesia.

Isi sumpah pemuda :

SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928

Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di
Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928.

Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :

Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Peserta :

  1. Abdul Muthalib Sangadji
  2. Purnama Wulan
  3. Abdul Rachman
  4. Raden Soeharto
  5. Abu Hanifah
  6. Raden Soekamso
  7. Adnan Kapau Gani
  8. Ramelan
  9. Amir (Dienaren van Indie)
  10. Saerun (Keng Po)
  11. Anta Permana
  12. Sahardjo
  13. Anwari
  14. Sarbini
  15. Arnold Manonutu
  16. Sarmidi Mangunsarkoro
  17. Assaat
  18. Sartono
  19. Bahder Djohan
  20. S.M. Kartosoewirjo
  21. Dali
  22. Setiawan
  23. Darsa
  24. Sigit (Indonesische Studieclub)
  25. Dien Pantouw
  26. Siti Sundari
  27. Djuanda
  28. Sjahpuddin Latif
  29. Dr.Pijper
  30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
  31. Emma Puradiredja
  32. Soejono Djoenoed Poeponegoro
  33. Halim
  34. R.M. Djoko Marsaid
  35. Hamami
  36. Soekamto
  37. Jo Tumbuhan
  38. Soekmono
  39. Joesoepadi
  40. Soekowati (Volksraad)
  41. Jos Masdani
  42. Soemanang
  43. Kadir
  44. Soemarto
  45. Karto Menggolo
  46. Soenario (PAPI & INPO)
  47. Kasman Singodimedjo
  48. Soerjadi
  49. Koentjoro Poerbopranoto
  50. Soewadji Prawirohardjo
  51. Martakusuma
  52. Soewirjo
  53. Masmoen Rasid
  54. Soeworo
  55. Mohammad Ali Hanafiah
  56. Suhara
  57. Mohammad Nazif
  58. Sujono (Volksraad)
  59. Mohammad Roem
  60. Sulaeman
  61. Mohammad Tabrani
  62. Suwarni
  63. Mohammad Tamzil
  64. Tjahija
  65. Muhidin (Pasundan)
  66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
  67. Mukarno
  68. Wilopo
  69. Muwardi
  70. Wage Rudolf Soepratman
  71. Nona Tumbel

Catatan :
Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya"
gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.

  1. Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat
    di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah
    Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie
    Kong Liong.
  2. 2. Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau
    Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang
    yaitu :
    a. Kwee Thiam Hong
    b. Oey Kay Siang
    c. John Lauw Tjoan Hok
    d. Tjio Djien kwie

Sumber : http://organisasi.org/

: http://sumpahpemuda.org/

Website Musium : www.museumsumpahpemuda.go.id


Read More...

Sunday, November 2, 2008

Kronik Seputar Proklamasi

Kronik Seputar Proklamasi


Oleh Alwi Shahab

Tanggal 6 Agustus 1945 pukul 08.15, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, menyebabkan lebih 70 ribu orang dari kota yang berpenduduk 350 ribu jiwa tewas seketika. Tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan ke Nagasaki. Sepertiga kota itu hancur dan tidak kurang 75 ribu orang tewas. Kaisar Hirohito menganggap Jepang sudah tidak mungkin lagi meneruskan peperangan dan kemudian memaklumkan kekalahannya --menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

Menyerahnya Jepang hampir tidak diketahui rakyat di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, rakyat buta terhadap berita-berita luar negeri. Semua radio disegel. Mereka yang ketahuan mendengarkan siaran radio musuh sangat besar risikonya: ditangkap Kempetai (polisi milter Jepang) dan dituduh mata-mata musuh. Tuduhan yang bisa membawa kematian orang bersangkutan.

Mengingat banyak generasi sekarang yang tidak tahu kehidupan saat itu, baiklah kita kutip catatan dari seorang pimpinan Barisan Pelopor (Korps Pionir) tentang situasi akhir 1944. ''Setiap hari tampak hilir mudik mayat-mayat berjalan (tinggal kulit pembungkus tulang). Tubuh mayit berjalan itu penuh kutu di bajunya yang compang-camping. Baju yang terbuat dari bahan karung goni, tali rami, atau karet. Mayit-mayit manusia itu ada di mana-mana, di lubang perlindungan, di kuburan Cina, juga di tempat-tempat pembuangan sampah. Tergolek lemah tanpa daya.''


Ketika Jepang bertekuk lutut, yang mendengar kekalahan itu antara lain Sutan Sjahrir. Ia dikenal sebagai tokoh anti-Jepang yang bekerja di bawah tanah dan selalu mendengarkan siaran radio gelap. Pemuda Minang bertubuh kecil ini kemudian menyebarkan berita kekalahan Jepang itu kepada para pemuda. Para pemuda pun mendesak Bung Karno agar segera memproklamasikan kemerdekaan, bahkan kemudian menculiknya bersama Bung Hatta dan Ibu Fatmawati ke Rengasdengklok, kota kecamatan di Karawang, Jawa Barat.

Bung Karno rupanya tidak pernah melupakan 'penghinaan' Sjahrir ini. Dalam biografinya seperti dituturkan pada Cindy Adams, Bung Karno mengatakan, ''Sjahrir-lah orang yang menyala-nyalakan api para pemuda. Dia tertawa mengejekku dengan diam-diam dan tidak pernah di hadapanku. Soekarno itu gila... Soekarno kejepang-jepangan... Soekarno pengecut....''

AM Hanafi, tokoh Angkatan '45 dan mantan dubes RI di Kuba, dalam buku Menteng 31 menulis, ''Tanggal 14 Agustus 1945 pukul 15.00 beberapa pemuda radikal berkumpul di sebuah pekarangan yang banyak pohon pisangnya, tidak jauh dari lapangan terbang Kemayoran. Mereka adalah Chaerul Saleh, Asmara Hadi, AM Hanafi, Sudiro, dan SK Trimurti. Kami menantikan kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta dari Saigon. Kami pikir keduanya diiming-imingi Jepang dengan janji kemerdekaan kelak di kemudian hari. Janji yang kami anggap menghina bangsa Indonesia. Kami para pemuda tidak mau kemerdekaan hadiah.''

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta hendak masuk mobilnya, Chaerul Saleh menghampiri mereka, dan berkata, ''Proklamirkan kemerdekaan sekarang juga.'' Bung Karno yang tidak senang didesak mengatakan, ''Kita tidak bisa bicara soal itu di sini. Lihat itu, Kempetai mengawasi kita.'' Lalu ia masuk ke mobil di mana Hatta sudah berada di dalamnya.

Jakarta kala itu sangat tegang. Golongan tua termasuk Bung Karno dan Bung Hatta berpendapat sebaiknya kemerdekaan dicapai tanpa pertumpahan darah. Ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak Jepang. Sebaliknya kelompok pemuda sudah tidak sabar lagi. Kemerdekaan harus segera diproklamasikan tanpa bantuan dan melibatkan bangsa asing mana pun.

Pada 15 Agustus 1945 pukul 20.00, di salah ruangan Lembaga Bakteriologi, di Pegangsaan Timur 17 (sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat UI), para pemuda dan mahasiswa mengadakan pertemuan di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Hasilnya, pukul 23.00 mereka mengutus Wikana dan Darwis mendatangi Bung Karno dan mendesak agar esok hari (16/8) memproklamasikan kemerdekaan. Bung Karno menolak. Alasannya ia dan Bung Hatta tidak ingin meninggalkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Apalagi PPKI esoknya akan rapat di Jakarta.

Mendengar penolakan itu, Wikana mengancam, ''Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, esok akan terjadi pertumpahan darah di Jakarta.'' Bung Karno pun naik pitam, ''Ini batang leherku. Potonglah leherku malam ini juga.'' Wikana terkejut melihat kemarahan Bung Karno itu.

Pada 16 Agustus 1945 pukul 04.00, setelah sahur, mereka menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di sini sekali lagi para pemuda di bawah pimpinan Sukarni gagal memaksa keduanya untuk memproklamasikan kemerdekaan.

Perdebatan' kelompok muda dan tua terjadi kembali pada menit-menit menjelang proklamasi. Meski proklamasi diputuskan akan dibacakan pukul 10.00 di kediaman Bung Karno, para pemuda tetap gelisah. Mereka khawatir tentara Jepang akan menggagalkannya. Mereka mendesak Bung Karno segera membacakannya tanpa menunggu Bung Hatta.

''Saya tidak akan membacakan teks proklamasi kalau Bung Hatta tidak ada. Jika Mas Muwardi tidak mau menunggu, silakan baca sendiri,'' kata Bung Karno dengan lantang. Tak lama kemudian terdengar teriakan, ''Bung Hatta datang... Bung Hatta datang....'' Tepat pukul 10.00 tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan RI pun diproklamasikan. (RioL)

Pada 15 Agustus 1945, Jepang bertekuk lutut pada Angkatan Perang Sekutu. Hari itu suasana kota Jakarta tegang akibat desas-desus penyerahan Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta yang baru pulang dari Saigon menemui Jenderal Besar Terauchi, Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara, berusaha untuk mencari keterangan dari Gunseikun (Kepala Pemerintahan Pendudukan Jepang). Tapi, usaha kedua tokoh nasional ini sia-sia. Para perwira militer Jepang tutup mulut. Termasuk Laksamana Maeda, penghubung AL Jepang di Indonesia, yang didatangi Bung Karno, Hatta, dan Mr Achmad Subardjo.
[Photo] [Photo] [Photo] Sejumlah pemuda dan mahasiswa yang mengetahui kekalahan Jepang ini meneruskan kepada lainnya dengan bisik-bisik. Mereka pun bersiap-siap agar proklamasi kemerdekaan dilaksanakan pada hari itu juga. Menjelang larut malam, Mr Achmad Subardjo dalam perjalanan dari kediamannya di Cikini menuju kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi), lebih dulu mampir di kediaman Bung Hatta di Jl Diponegoro. Ia mengajak Hatta yang tengah sibuk mempersiapkan rapat Badan Persiapan Kemerdekaan RI keesokan harinya (16 Agustus) turut serta ke kediaman Bung Karno.

Keduanya tiba di kediaman Bung Karno pukul sebelas malam. Bung Karno sedang duduk dikelilingi para pemuda. Suasananya sangat tegang karena emosi kedua belah pihak dalam suhu yang panas. ''Sewaktu kami memasuki ruang duduk tampak jelas kelegaan Sukarno atas kedatangan kami. Kehadiran kami rupanya memberi pengaruh yang menenangkan, karena Sukarno telah menguasai kembali gejolak emosinya. Sukarno menceritakan kepada kami bahwa para pemuda tersebut telah datang untuk mendesaknya mengambil tindakan dalam hubungan proklamasi kemerdekaan,'' tulis Achmad Subardjo yang usianya lima tahun lebih tua dari Bung Karno dan enam tahun diatas Bung Hatta.

Wikana dan Darwis mewakili kelompok muda yang dipimpin Chaerul Saleh dan Sukarni ini datang ke kediaman Bung Karno pukul sepuluh malam. Para pemuda ini mendesak agar proklamasi dilaksanakan malam itu juga. Bung Karno menyatakan bahwa ia tidak bisa memutuskan hal ini sebelum membicarakannya dengan teman-teman lain. Apalagi pada 16 Agustus 1945 BPUPKI akan bersidang.

Bung Karno kemudian mengemukakan pendapat Bung Hatta bahwa mereka berdua tidak akan membiarkan diri mereka digagahi atau digertak. ''Jika kalian siap menyatakan sendiri kemerdekaan cobalah! Saya ingin tahu kesanggupan kalian.'' Hal ini dijawab para pemuda, ''Jika ini pendapat Bung, silahkan! Kami para pemuda tidak dapat membenarkan penundaan proklamasi lewat siang atau besok. Kami para pemuda akan mengambil tindakan-tindakan dan membuktikan kesanggupan kami seperti Bung kehendaki.''

Wikana seperti dituturkan Achmad Subardjo tetap mendesak agar Bung Karno mengumumkan Indonesia telah bebas dari cengkeraman Jepang melalui stasiun radio malam itu juga. ''Sesuatu yang tidak mungkin karena stasiun radio masih dikuasai balatentara Jepang yang memiliki persenjataan lengkap,'' tulis Subardjo.

Karena Bung Karno tetap menolak, Wikana pun mengancam. ''Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman malam ini juga akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari.'' Mendengar ancaman ini Bung Karno naik darah. Ia berdiri menuju Wikana dan memuntahkan kata-kata. ''Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga. Kamu tidak usah menunggu esok hari.''

Subardjo mengaku sepakat dengan Bung Karno. ''Saya secara diam-diam setuju dengan pendapatnya karena bagaimana mungkin kami meninggalkan para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan yang akan bersidang hari esoknya di Pejambon (kini Gedung Pancasila),'' tulis Subardjo.

Laki-laki kelahiran Karawang Maret 1896 ini pun hanya berdiam diri dan mendengarkan Hatta memperingatkan Wikana. ''Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika Saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa Saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan, mengapa Saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta Sukarno untuk melakukan hal itu?'' kata Hatta. Para pemuda yang kecewa berat meninggalkan kediaman Bung Karno pukul 11.30 malam.

Rupanya ancaman mereka bukan gertak sambal. Keesokan harinya saat sahur, Bung Karno dan Bung Hatta diculik dan dibawa ke Rengasdenglok, sekitar 60 km timur Jakarta. Achmad Subardjo, Menlu pertama RI, ini baru mengetahuinya keesokan harinya (16/8/1945) pukul delapan pagi. Ia menjadi gelisah karena pada pukul sepuluh pagi akan ada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan. Bung Karno dan Bung Hatta menjadi ketua dan wakil ketuanya.

Pencarian Bung Karno dan Bung Hatta pun dilakukan. Baru menjelang sore para pemuda melalui Wikana menyatakan bahwa mereka menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdenglok. ''Penculikan ini karena khawatir bahwa keduanya akan dibunuh oleh tentara Jepang dan paling sedikit digunakan sebagai sandera,'' papar Wikana. Dengan mobil Skoda tua pada pukul empat sore, Subardjo cs menuju Rengasenglok dan tiba di sana malam hari.

''Apakah Jepang sudah menyerah?'' tanya Bung Karno. ''Saya kemari untuk memberitahukannya,'' jawab Ahmad Subardjo yang baru mengetahuinya menjelang siang dari Laksamana Maeda. Dan pada malam itu juga disusunlah naskah proklamasi oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo dalam rapat yang berlangsung pada pukul empat dinihari di Jl Imam Bonjol 1, Jakarta Pusat. Keesokan paginya pukul sepuluh Bung Karno membacakan naskah proklamasi itu. (RioL)


Buktinya, banyak peninggalan sejarah telah dibongkar dan dihancurkan. Tidak terkecuali rumah kediaman Bung Karno. Padahal, rumah di Jl Proklamasi (dulu Jl Pegangsaan Timur) 56, Jakarta memiliki nilai sejarah paling monumental. Dari tempat ini pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi diproklamirkan kemerdekaan RI.

Kini, rumah yang bagian mukanya dibangun patung Proklamator Sukarno - Hatta, dijadwalkan akan dibangun kembali sesuai bentuk aslinya. ”Agar nilai sejarahnya lebih berbobot, pembangunan kembali rumah Bung Karno sebaiknya dilakukan ditempat semula,” kata drs Nurhadi, seorang staf pada Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta. Tanpa harus menggusur Tugu Proklamator, masih terdapat cukup luas pekarangan, di gedung yang sekarang bernama Perintis Kemerdekaan.

Ali Sadikin, ketika membuka seminar: ”Potensi Ekonomi Pelestarian Kawasan dan Bangunan Tempo Doeloe” pekan lalu ikut mendorong dibangunnya kembali kediaman Bung Karno. Bahkan, mantan gubernur DKI itu mengimbau masyarakat dan LSM untuk juga ikut mendorongnya. ”Belum terlambat untuk membangun kembali rumah Bung Karno,” katanya.

Sebetulnya, keinginan untuk membangun kembali rumah yang 55 tahun lalu dijadikan tempat proklamasi kemerdekaan RI sudah tercetus sejak lama.

Seperti dikemukakan Ali Sadikin, sejak menjadi gubernur DKI ia sudah berencana membangunnya kembali. ”Bahkan saya telah menyiapkan dananya. Tapi, Pak Harto tidak setuju karena akan membangun patung proklamator,” kata Bang Ali.

Agar pembangunan kembali rumah Bung Karno dapat dipertanggungjawabkan terhadap keabsahan sejarah, pihak Dinas Museum dan Pemugaran DKI, kata Nurhadi, tengah meneliti kembali bentuk rumah saat masih didiami presiden pertama RI. Seperti jumlah dan letak kamar, jenis perabot yang digunakan, tempat tidur Bung Karno dan keluarga. Di antara putera-puteri Bung Karno, hanya si sulung Guntur yang dilahirkan di tempat ini.

Rumah ini dibongkar masa pemerintahan Bung Karno. Ada yang mengatakan ia tidak mau diingatkan kembali pada keadaan yang tidak menyenangkan, saat-saat menjelang proklamasi kemerdekaan. Seperti saat ia beberapa kali didesak para pemuda radikal yang mengancamnya agar memproklamirkan kemerdekaan lebih awal.

Tentu saja, Bung Karno, sesuai dengan wataknya tidak pernah mau dipaksa-paksa kelompok muda, seperti Sukarni, Chaerul Saleh dan Wikana. Alasannya, waktu itu Jepang masih kuat dan memiliki senjata, yang tidak dimiliki para pemuda.

Dalam buku ”Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” nya Cindy Adams, Bung Karno mengatakan: ”Kalau engkau, pemuda, hendak mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia, cobalah tanpa saya.” Sementara dibelakang terdengar tangis Guntur dibujuk oleh Fatmawati. Menggambarkan betapa ‘panasnya’ pertemuan ini.

Pada 15 Agustus 1945, para pemuda yang telah mendengar Jepang menyerah, kembali mendatanginya diberanda rumah ini. ”Sekarang Bung, malam ini juga,” kata Chaerul Saleh. ”Kita kobarkan revolusi yang meluas malam ini juga. Dengan satu isyarat Bung Karno seluruh Jakarta akan terbakar. Ribuan pasukan bersenjata sudah siap sedia menyingkirkan seluruh tentara Jepang.”

Sukarni dan sejumlah pemuda lainnya juga bersuara lantang. Karena Bung Karno tetap tidak mau meladeni desakannya, seorang pemuda dengan suara rendah mengatakan: ”Barangkali Bung Besar kita takut. Barangkali dia menunggu perintah dari Tenno Heika.” (Kaisar Jepang-penulis).

Wikana mengikuti ejekan ini. ”Dia coba menggertakku. Revolusi berada ditangan kami sekarang dan kami memerintah Bung. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …..”. ”Lalu apa?” teriakku sambil meloncat dari kursi dengan kemarahan menyala-nyala. Jangan aku diancam. Ini kudukku. Boleh potong hayo.”

Keesokan harinya (16/8-1945), sekitar pukul 04.00 saat sahur (waktu itu bulan puasa), para pemuda dipimpin Sukarni menculik Sukarno dan Hatta. Bersama Fatmawati dan Guntur yang masih bayi, mereka dibawa ke Rengasdenglok, Karawang (75 km arah timur Jakarta). Keduanya kembali menolak desakan para pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan di tempat ini. Baru kembali ke Jakarta malam hari, mereka langsung merumuskan naskah proklamasi di Jl Imam Bonjol (Nassau Boulevard), rumah Laksamana Maeda, panglima AL Jepang di Indonesia hingga pukul 04.00 pagi.

Mulanya, proklamasi kemerdekaan akan dibacakan di Lapangan Ikada (Monas). Tapi, demi menghindarkan bentrokan dengan tentara Jepang ditetapkan di kediaman Bung Karno. Pagi hari (17 Agustus 1945), sekitar 09.00 pagi kira-kira 500 orang berdiri di depan beranda rumah ini.

”Sekarang Bung, sekarang. Rakyat berteriak.” Tapi Bung Karno tidak mau, karena Hatta tidak ada. Ketika didesak dr Muwardi, komandan Barisan Pelopor, Bung Karno mengatakan: ”Saya tidak mau membacakan teks proklamasi bila Hatta tidak ada. Jikalau Mas Muwardi tidak mau menunggu silahkan baca sendiri.” Hatta tiba lima menit sebelum pembacaan proklamasi.

Masih banyak peristiwa penting terjadi di tempat ini. Seperti saat ia bersama Bung Hatta memimpin sidang kabinet RI pertama, hanya beberapa hari setelah proklamasi.

http://alwishahab.wordpress.com/2000/07/30/rumah-bung-karno/

Terlihat puluhan pemuda bergerombol, ada yang duduk-duduk di teras rumah tersebut. Ada pula yang duduk-duduk di rumput pekarangan sambil mengobrol. Mereka menampakkan wajah yang serius, tanpa memperdulikan sengatan angin dingin pada dini hari menjelang subuh. Para pemuda ini dengan sabar tengah menunggu apa yang akan diputuskan oleh para pimpinan mereka di lantai satu rumah tersebut.

Peristiwa diatas bukan terjadi di Jepang. Tapi di Jakarta. Yang disebut Jl Teji Meijidori No. 1 (kini Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat), adalah kediaman Laksamana Tadashi Maeda, panglima AL Jepang di Indonesia. Di kediaman petinggi militer Jepang inilah, Bung Karno, Bung Hatta, dan para tokoh pergerakan kemerdekaan, tengah menyusun teks proklamasi. Mereka seolah-olah bergelut dengan waktu, karena teks proklamasi itu akan dibacakan pagi harinya, 17 Agustus 1945. Detik-detik menjelang proklamasi itu, memang menegangkan bagi para pemuda itu.

Pada 14 Agustus petang, Syahrir memberitahukan kepada Bung Karno dan Hatta, yang bersama dengan dr Radjiman Wedyodiningrat baru pulang dari Dallath, Vietnam memenuhi undangan Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara. Pemberitahuan itu tentang kekalahan Jepang dari Sekutu. Tak ada yang tahu berita ini, kendati kekalahan Jepang itu sudah terjadi pada 6 Agustus 1945, ketika bom atom pertama membakar Hiroshima. Sebanyak 70 ribu dari 350 ribu penduduk Hiroshima, tewas. Jepang kian takluk ketika bom atom kedua dijatuhkan ke kota Nagasaki, menewaskan 75 ribu penduduknya.

Kekalahan ini sangat dirahasiakan di Indonesia. Waktu itu rakyat hanya boleh mendengar berita-berita yang bersumber dari Jepang yang kebanyakan berisi propaganda. Semua radio disegel dan mereka yang mendengar siaran luar negeri dianggap 'mata-mata musuh' dan bisa dihukum mati. Ditengah-tengah ancaman ini, ada gerakan dibawah tanah dipimpin Sutan Syahrir yang mendengar kekalahan Jepang.

Setelah dicek kepada Laksamana Maeda di kantornya di Merdeka Timur (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut), petinggi Jepang ini membenarkan berita tersebut. Namun ia menegaskan belum menerima kabar langsung dari Tokio. Bung Karno yang menginginkan agar proklamasi kemerdekaan diputuskan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), menolak usulan para pemuda revolusioner yang mendatangi kediamannya di Jl Proklmasi 57, pada 15 Agustus pukul 22.00.

Para pemuda yang diwakili oleh Wikana dan Darwis, meminta agar kemerdekaan diproklamasikan malam itu juga. Wikana dengan nada mengancam mengatakan, bila Bung Karno enggan memaklumkan kemerdekaan malam ini juga, niscaya akan meletus pertempuran keesokan harinya. Mendengar omongan ini, memicu kemarahan Bung Karno. "Apakah saudara sudah siap betul-betul melancarkan suatu revolusi? Kalau gagal, bagaimana ? Bukankah rakyat nanti menjadi korban?" Bung Karno menghardik Wikana. Nyali Wikana tak surut menerima sergahan. "Rakyat siap berontak. Pemuda yang akan memimpin pemberontakan rakyat," kata Wikana memotong tajam ucapan Bung Karno.

Kelancangan Wikana ini mengobarkan api kemarahan Bung Karno. Bangkit dari tempat duduknya, halilintar kemarahan pun memecah keheningan ruangan : "Biar digorok leherku, aku tidak akan memproklamirkan kemerdekaan malam ini, besok atau kapan saja. Kamu jangan coba-coba mengancam aku, ya!" Bung Karno menghardik Wikana.

Setelah Wikana dan Darwis melaporkan kepada para pemuda hasil pertemuannya di kediaman Bung Karno, maka Kamis 16 Agustus pukul 04.00 Bung Karno dan Bung Hatta diungsikan ke Rengasdenglok, Karawang, Jabar. Mr Achmad Subardjo menjemput keduanya untuk kembali ke Jakarta. Mereka tiba di kediaman masing-masing pukul 23.00. Bung Karno mengantar Ibu Fatmawati dan Guntur yang masih bayi, dan kemudian menuju ke kediaman Laksamana Maeda.

Demikian juga Bung Hatta. Di rumah perwira tinggi AL Jepang ini sudah banyak orang berkumpul, termasuk para anggota PPKI. Bung Karno dan Bung Hatta diantar Laksamana Maeda menemui Mayor Jenderal Nishimura. Maksudnya, untuk mengetahui sikap perwira tinggi AD Jepang tentang pengumuman proklamasi. Pati AD Jepang itu berpendirian sesuai dengan peraturan internasional bahwa setelah menyerah pada Sekutu, tentara Jepang harus memelihara status quo. Tidak boleh mengadakan perubahan apa-apa. Akhirnya, Bung Karno dan Bung Hatta mengambil kesimpulan tidak perlu lagi mengadakan pembicaraan dengan pihak Jepang.

Mereka kembali ke rumah Laksamana Maeda. Jam menunjukkan 17 Agustus pukul 02.00. Maka disusunlah teks proklamasi. Rumusan itu ditulis di atas kertas buku catatan bergaris biru, dari seorang hadirin. Rampung, Bung Karno meminta persetujuan yang hadir. Gemuruh suara menyatakan setuju. Teks proklamasi kemudian diketik Sayuti Melik, di dekat dapur kediaman Laksamana Maeda. Rapat berakhir pukul 04.00. Dan pukul 10.00 pagi pun Indonesia sudah merdeka.

"Di mana letaknya tempat yang disebut ’Gedung Proklamasi’?" Pertanyaan yang sederhana mengenai tempat kelahiran negara Indonesia, tetapi jawaban yang muncul banyak mengarah kepada "tidak tahu". Sesungguhnya, jawaban "tidak tahu" jauh lebih baik daripada percaya kepada informasi yang sekarang terdapat di lokasi ini. Sangat menyedihkan, apa yang dimasyarakatkan oleh Pemprov DKI Jakarta mengenai "Gedung Proklamasi" kenyataannya mengandung pembodohan dan manipulasi data sejarah. Mengapa demikian?

Kediaman Bung Karno inilah yang dulu disebut "Gedung Proklamasi", karena di tempat ini proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta hari Jumat legi (manis) tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi. Proklamasi kemerdekaan itu bertepatan dengan peringatan turunnya Al Quran (Nuzulul Quran, sehingga khotbah para khatib shalat Jumat pun menginformasikan peristiwa penting tentang kelahiran bangsa dan negara Indonesia).

Sayang seribu kali sayang, rumah historis ini musnah sudah sejak tahun 1960 (43 tahun lalu). Kecuali lahan, tidak sedikit pun bangunan tersisa. Tidak ada lagi peninggalan sejarah kemerdekaan yang dapat dijadikan kenangan bagi generasi penerus. Tidak ada informasi yang natural, normatif, orisinal, sesuai hakikat peristiwa yang terjadi di kediaman Bung Karno ini.

Ceritanya, tahun 1960 Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah tersebut direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana Negara. Ternyata, renovasi tidak terealisasi.

Di lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, "Tugu Petir", yang kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian dicantumkan, "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".

sumber : http://swaramuslim.com/galery/sejarah/index.php?page=seputar_proklamasi
Read More...

Sejarah Singkat Dinasti Mataram Islam Awal.

Sejarah Singkat Dinasti Mataram Islam Awal

Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golomngan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan perebutan tahta dan perselisihan antaranggota keluarga yang sering dicampuri oleh Belanda.

Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam. Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati. Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601. Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram. Senapati digantikan oleh putranya, Mas Jolang, yang bertahta tahun 1601-1613. Maas Jolang lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pada masa pemerintahannya, dibangun taman Danalaya di sebelah barat kraton. Panembahan Seda Krapyak hanya memerintah selama 12 tahun Ia meninggal ketika sedang berburu di Hutan Krapyak. Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa.

Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur. Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya. Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya.

Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta. Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat. Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral.

Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang. Oleh karena Kraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke Kartasura (1681). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Dalam masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II yang kelak dinobatkan menjadi Paku Buwana I oleh para pengikutnya). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi biaya dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC. Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh putranya, Sunan Mas (Amangkurat III). Ia juga menentang VOC. Pihak VOC yang mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang ke Sailan oleh VOC. Namun Paku Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian timur kepada VOC. Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu , dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti biasa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan. Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC. Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC.

Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga. Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744). Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah pemberontakan terhadap raja. Paku Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran Mangkubumi, untuk mengenyahkan kaum pemberontak dengan janji akan memberikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-sama. Mulailah terjadi Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755). Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung rakyat tersebut, bahkan akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat (1749). Namun menurut pengakuan Hogendorf, Wakil VOC Semarang saat sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat itulah VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan menjadi Paku Buwana III (1749). Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai. Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.


Sumber : http://www.tembi.org/mataram/

Read More...

Kerajaan Mataram Islam

Pada awal perkembangannya kerajaan Mataram adalah daerah kadipaten yang dikuasai oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah tersebut diberikan oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yaitu raja Pajang kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya membantu mengatasi perang saudara di Demak yang menjadi latar belakang munculnya kerajaan Pajang. Ki Gede Pamanahan memiliki putra bernama Sutawijaya yang juga mengabdi kepada raja Pajang sebagai komando pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede Pamanahan meninggal tahun 1575, maka Sutawijaya menggantikannya sebagai adipati di Kota Gede tersebut. Setelah pemerintahan Hadiwijaya di Pajang berakhir, maka kembali terjadi perang saudara antara Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak yang merupakan keturunan dari Raden Trenggono.

Akibat dari perang saudara tersebut, maka banyak daerah yang dikuasai Pajang melepaskan diri, sehingga hal inilah yang mendorong Pangeran Benowo meminta bantuan kepada Sutawijaya. Atas bantuan Sutawijaya tersebut, maka perang saudara dapat diatasi dan karena ketidakmampuannya maka secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai kelanjutannya muncullah kerajaan Mataram. Lokasi kerajaan Mataram tersebut di Jawa Tengah bagian Selatan dengan pusatnya di kota Gede yaitu di sekitar kota Yogyakarta sekarang.

Kehidupan Politik

Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh. Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram terwujud, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyakrawati tahun 1601 – 1613. Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak. Untuk selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman, yang memerintah tahun 1613 – 1645. Sultan Agung merupakan raja terbesar dari kerajaan ini. Pada masa pemerintahannya Mataram mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah berani, cakap dan bijaksana.

Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. Di samping mempersatukan berbagai daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan serangan terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan bahan makanan. Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu juga sistem persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram.

Untuk selanjutnya silahkan Anda diskusikan dengan teman-teman Anda mencari penyebab kegagalan yang lain serangan Mataram ke batavia. Hasil diskusi Anda dapat dikumpulkan pada guru bina Anda dan kemudian lanjutkan menyimak uraian materi selanjutnya. Walaupun penyerangan terhadap Batavia mengalami kegagalan, namun Sultan Agung tetap berusaha memperkuat penjagaan terhadap daerah-daerah yang berbatasan dengan Batavia, sehingga pada masa pemerintahannya VOC sulit menembus masuk ke pusat pemerintahan Mataram. Setelah wafatnya Sultan Agung tahun 1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang cakap dan berani seperti Sultan Agung, bahkan putranya sendiri yaitu Amangkurat I dan cucunya Amangkurat II, Amangkurat III, Paku Buwono I, Amangkurat IV, Paku Buwono II, Paku Buwono III merupakan raja-raja yang lemah. Sehingga pemberontakan terjadi antara lain Trunojoyo 1674-1679, Untung Suropati 1683-1706, pemberontakan Cina 1740-1748.

Kelemahan raja-raja Mataram setelah Sultan Agung dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibukota dengan cara mengadu-domba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC. VOC berhasil menaklukan Mataram melalui politik devide et impera, kerajaan Mataram dibagi dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga Mataram yang luas hampir meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah :

1. Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I.

2. Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III.

Belanda ternyata belum puas memecah belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui politik adu-domba kembali tahun 1757 diadakan perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati tahun 1757, kemudian sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati tahun 1813.

Demikianlah perkembangan politik kerajaan Mataram. Untuk menambah pemahaman Anda, buatlah silsilah raja-raja Mataram dari awal berdirinya Mataram sampai tahun 1757. Sebagai referensinya Anda dapat membaca buku Sejarah Nasional

Kehidupan Ekonomi

Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor karena pada abad ke-17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar. Dari penjelasan tersebut, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham, bandingkan dengan uraian materi selanjutnya.

Kehidupan Sosial Budaya

Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem feodal. Dengan sistem tersebut maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang mendapatkan upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan. Tanah lungguh tersebut dikelola oleh kepala desa (bekel) dan yang menggarapnya atau mengerjakannya adalah rakyat atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah. Dengan adanya sistem feodalisme tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa yang sangat berkuasa terhadap tanah-tanah yang dikuasainya. Sultan memiliki kedudukan yang tinggi juga dikenal sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Sedangkan dalam bidang kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan patung serta seni sastra berkembang pesat. Hal ini terlihat dari kreasi para seniman dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran di istana maupun tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar di makam Sunan Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada masa Sultan Agung.

Contoh lain hasil perpaduan budaya Hindu-Budha-Islam adalah penggunaan kalender Jawa, adanya kitab filsafat sastra gending dan kitab undang-undang yang disebut Surya Alam. Contoh-contoh tersebut merupakan hasil karya dari Sultan Agung sendiri.

Di samping itu juga adanya upacara Grebeg pada hari-hari besar Islam yang ditandai berupa kenduri Gunungan yang dibuat dari berbagai makanan maupun hasil bumi. Upacara Grebeg tersebut merupakan tradisi sejak zaman Majapahit sebagai tanda terhadap pemujaan nenek moyang.

Sumber : http://pakyok.wordpress.com/

Read More...